Selasa, 29 Desember 2009

Pelukis Palembang Pamerkan Karya Sejarah



Tavern - Sejumlah pelukis asal Kota Palembang akan memamerkan hasil karya berupa lukisan sejarah kota "pempek", seperti, lukisan perang Kesultanan Palembang Darussalam melawan Belanda, kata panitia penyelenggara, Djoesev Soetrisno di Palembang, pekan ini.Djoesev mengatakan, pameran lukisan tersebut bekerjasama dengan persatuan hotel dan restoran Indonesia (PHRI) yang menjadi fasilitas tempat. Pameran dijadwalkan akan diselenggarakan di The Jayakarta Hotel Palembang, pada 19-26 Januari 2009. Menurut dia, sebanyak 30 hasil karya pelukis Palembang akan dipamerkan pada ajang tersebut yang saat ini 20 sudah siap dipamerkan. Pelukis tersebut merupakan putra asli. Ia mengatakan, pameran lukisan tersebut diharapkan mampu mendorong karya pelukis Palembang dengan beragam kreativitas sehingga menciptakan karya yang baik.
Karena pihaknya yakin semakin seringnya dilakukan pameran maka kreativitas pelukis pun akan terus terasah, katanya.
Wakil Gubernur Sumatra Selatan, Eddy Yusuf ketika menerima panitia penyelenggara pameran lukisan bersejarah tersebut mengatakan, event itu sangat penting untuk dilaksanakan rutin karena menjadi ajang upaya untuk menarik kunjungan wisatawan ke Palembang.
"Saya berharap agenda pameran lukisan karya pelukis Sumatra Selatan dan sekali-kali berkolaborasi dengan pelukis dari daerah lain dilaksanakan secara rutin," ujarnya.
Eddy menambahkan, dengan pelaksaan pameran rutin pihaknya yakin nantinya setiap wisatawan yang datang ke Sumatra Selatan khususnya Kota Palembang mencari lukisan sebagai oleh-oleh. Lukisan yang menggambarkan objek wisata sungai dan tempat wisata lain nantinya bisa dituangkan dalam kanvas, kemudian menjadi cenderamata khas Palembang, tambah dia. (*)




Read More..

Tayangan Televisi Realitas Media atau Realitas Sosial?



Oleh Akhmad Zaini Abar
PADA satu kesempatan, Ashadi Siregar, seorang pakar komunikasi, mencoba mengklasifikasikan tiga jenis realitas yang biasanya ditampilkan media massa. Pertama, realitas tontonan atau permainan. Realitas jenis ini adalah bentuk kenyataan sosial hasil rekayasa manusia untuk tujuan tertentu, baik yang sifatnya hiburan maupun pencapaian prestasi atau unjuk kreativitas. Dengan demikian, manusia (subyek) yang terlibat, lokasi dan waktu kejadiannya dapat direncanakan, dijadwal dan diatur sebelum peristiwanya berlangsung. Hal ini tentu saja amat memudahkan wartawan dalam mengantisipasi kejadian yang akan berlangsung jauh hari sebelumnya. Contoh realitas tontonan atau permainan misalnya pertandingan-pertandingan dalam olahraga, pameran, panggung-panggung teater atau drama, musik, komedi.

Kedua, realitas artifisial. Realitas jenis ini adalah suatu kenyataan semu, yakni berupa ritual-ritual sosial, politik, birokrasi serta keagamaan. Realitas jenis ini juga merupakan kenyataan hasil rekayasa manusia untuk tujuan-tujuan pengkultusan aktivitas-aktivitas simbolis, mulai dari upacara-upacara kenegaraan, keagamaan, sampai pada upacara peresmian proyek pembangunan melalui pidato dan pemotongan pita, dialog pejabat dengan penduduk desa dan lain-lain.

Ketiga, realitas interaksi sosial. Realitas jenis ini adalah realitas sosiologis, fakta sosial empirik atau kejadian-kejadian yang benar-benar berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Contoh dari realitas jenis ini banyak sekali dan bervariasi. Misalnya, penderitaan petani dan penduduk desa akibat kekeringan atau sebaliknya kebanjiran, masalah meningkatnya tindak kejahatan perkosaan, protes petani terhadap perusahaan perkebunan yang sewenang-wenang memaksa tanah mereka ditanami tembakau, problematik kemiskinan di perkotaan dan di perdesaan, konflik-konflik kepartaian dan elite, harga-harga barang naik, kredit macet di dunia perbankan nasional, utang luar negeri yang membengkak, perang, dan lain-lain.
***

DARI tiga jenis realitas seperti yang diklasifikasikan Ashadi Siregar ini, jenis manakah yang paling dominan dan menonjol pada tayangan televisi nasional saat ini? Pertanyaan ini amat penting diajukan apabila kita ingin melihat secara kritis orientasi siaran televisi nasional yang semakin marak belakangan ini.

Tanpa harus melakukan penelitian empiris yang seksama, jika kita sering menonton tayangan berbagai stasiun televisi di negeri ini, baik televisi swasta (RCTI, TPI, SCTV, AN-teve, dan Indosiar) maupun televisi pemerintah (TVRI), maka dengan mudah kita dapat mengetahui realitas jenis mana yang sering ditayangkan, ditonjolkan atau diunggulkan televisi nasional.

Jenis realitas yang paling sering ditayangkan oleh televisi nasional adalah realitas tontonan dan permainan. Sepanjang pagi hingga malam hari, khalayak penonton televisi akan lebih sering menyaksikan acara-acara seperti ini, mulai dari tayangan sinetron, film, musik, komedi, pertandingan olahraga (sepak bola, bola basket, tenis, balap motor-mobil), kuis, dan lain-lain.

Jenis realitas ini bagi kebanyakan televisi, khususnya televisi swasta, menjadi tayangan unggulan dan memperoleh rating yang tinggi, di mana iklan banyak menghiasi tayangan ini.

Sementara itu, untuk TVRI stasiun televisi milik pemerintah, tayangan realitas artifisial cenderung lebih menonjol dibandingkan yang lainnya. Hal ini nampak sekali dari siaran beritanya, baik berita daerah maupun nasional. Berita-berita TVRI ini lebih merupakan program penayangan acara-acara ritual kaum birokrat, pidato-pidato mereka, serta berbagai kegiatan sosial politik mereka.

Selain siaran berita, ada beberapa program siaran-siaran tambahan lainnya di TVRI yang menayangkan realitas artifisial ini, misalnya sejumlah feature pembangunan, siaran-siaran khusus kunjungan pejabat ke luar negeri atau dalam negeri (ke berbagai daerah), temu wicara pejabat dengan para kader desa, siaran langsung upacara-upacara kenegaraan dan keagamaan, peresmian berbagai proyek pembangunan, dan lain-lain yang sejenisnya.

Tayangan ini merupakan konsekuensi logis dari posisi TVRI sendiri sebagai media milik pemerintah yang berfungsi propagandis dan meneguhkan peran pemerintah. Oleh karena itu ukuran news value bagi TVRI lebih berdasarkan parameter birokratis daripada jurnalistik.

Realitas interaksi sosial adalah jenis realitas yang paling sedikit muncul di televisi nasional. Tayangan realitas interaksi sosial ini biasanya muncul melalui siaran berita maupun feature-feature dan laporan mendalam di televisi swasta. Untuk TVRI, realitas jenis ini banyak muncul pada siaran berita luar negeri (Dunia Dalam Berita) TVRI yang konon hampir semuanya diperoleh dari kantor berita asing.
***
APA makna dari kecenderungan yang demikian di mana realitas tontonan dan permainan menjadi tayangan yang dominan dan unggulan di televisi nasional?

Menurut saya, televisi --secara sengaja atau tidak sengaja-- menjauhkan khalayak penonton dari realitas sosial empirik, kejadian-kejadian yang berlangsung setiap hari di sekitar mereka. Televisi lebih banyak mengajak khalayak penonton memasuki dunia semu dan fantasi (tayangan fiktif melalui film dan sinetron), dunia glamour (tayangan kemewahan dan konsumtif), dan dunia hiburan dan gelak tawa.

Dengan perkataan lain, televisi cenderung menjadi media di mana masyarakat teralienasi dari kenyataan sosial.

Lebih jauh lagi, televisi justru menciptakan apa yang oleh kaum postmodern disebut sebagai realitas media, yakni realitas tayangan televisi. Lalu penonton dibius sedemikian rupa sehingga merasa bahwa apa yang ditayangkan oleh televisi adalah kenyataan yang sesungguhnya atau setidak-tidaknya kenyataan yang akan atau harus terjadi. Dengan kata lain, realitas media dianggap atau diharapkan menjadi realitas sosial empiris.

Kecenderungan demikian melahirkan sejumlah implikasi yang destruktif dalam masyarakat. Implikasi sosiologis dari kecenderungan demikian adalah, semakin menipisnya rasa solidaritas sosial dalam masyarakat.

Tayangan televisi tidak membentuk keprihatinan sosial atas berbagai fakta sosial, seperti kesenjangan ekonomi, penggusuran, pelanggaran hak asasi, meningkatnya kriminalitas, dan sadisme dalam masyarakat. Sebaliknya, fakta-fakta sosial ini justru menjadi terlupakan atau dilupakan dengan tayangan fiktif dan glamouris serta tayangan yang penuh suka cita dan galak tawa.

Implikasi politis dari kecenderungan demikian adalah, daya kritis masyarakat terhadap realitas sosial cenderung tumpul. Hal ini akan membuat tumbuhnya masyarakat yang antipati terhadap problem-problem kemasyarakatan yang lebih luas. Dan gerakan-gerakan ke arah demokratisasi dalam hal ini, terkendala di tingkat kognisi masyarakat sendiri.

Implikasi kulturalnya adalah, masyarakat menjadi konsumen kebudayaan media, yakni budaya populer yang menunjang industrialisme dan kapitalisme yang diproduksi secara massal oleh media massa. Sementara kultur non-media, baik kebudayaan tradisional maupun kontemporer yang merupakan respon utuh manusia atas dinamik kehidupan mereka secara empiris tertinggal jauh oleh kebudayaan media.

Berdasarkan sejumlah implikasi inilah kita mengharapkan televisi agar memberikan porsi yang seimbang dalam tayangannya antara realitas tontonan dengan realitas sosiologis.

Realitas sosiologis tetap relevan secara ekonomis seandainya perhitungan komersial selalu dijaga ketat untuk setiap jenis tayangan televisi. Kita lihat misalnya tayangan Seputar Indonesia milik RCTI adalah tayangan yang cukup sukses secara ekonomi, di mana item commercial break-nya lebih banyak dibanding item beritanya.

Pertanyaan yang patut diajukan juga adalah, apakah tayangan realitas sosiologis ini relevan dalam sistem politik sekarang ini? Dari perspektif pemberdayaan masyarakat tentu saja jawabnya: ya. Tetapi dari sisi konservasi kekuasaan tentunya jawabannya: tidak relevan. Sebab, tayangan realitas sosiologis televisi, selain dapat menjadi sarana kontrol sosial, ia juga menjadi wahana transparansi perilaku kekuasaan yang menyimpang.***

* Akhmad Zaini Abar, pengamat media massa, bekerja di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerbitan Yogya.

Sumber Tulisan : http://pipmi.tripod.com
Foto : http://images.virusceo.multiply.com

Read More..

Minggu, 27 Desember 2009

KAPITALISASI MEDIA DAN PERGESERAN IDEOLOGI


Oleh Imron Supriyadi
Hampir semua kalangan mengetahui, fungsi media massa selain sebagai informasi, hiburan dan pendidikan, juga sebagai kontrol sosial. Teori ini, sudah demikian mengakar, terutama dikalangan jurnalis. Atau paling tidak, pengetahuan ini akan diterima oleh mahasiswa semester satu, khususnya yang sedang menempuh mata kuliah jurnalistik. Tidak berlebihan jika kemudian saya berani mengatakan fungsi media massa yang tersebut diatas tadi, sudah seharusnya menjadi “ideologi” (landasan dasar pemikiran) bagi setiap pelaku dan pengelola media massa, cetak maupun elektronik. Namun di tengah upaya menjaga “ideologi” ini, media massa juga dihadapkan pada banyak hal. Salah satunya adalah tuntutan profesionalitas. Tuntutan ini, sudah tentu membutuhkan biaya (cost) tinggi, terutama untuk menyejahterakan para jurnalis-nya. Memberi upah yang layak bagi jurnalis menjadi penting artinya, agar para jurnalis tetap menjaga “ideologi”-nya, dan tidak terkontaminasi oleh “candu amplop”.

Ideologi oplagh
Guna meningkatkan kesejahteraan ini, tentu saja sebuah institusi pers tidak “diharamkan” jika kemudian memburu iklan. Sebab, diakui atau tidak, sudah menjadi rahasia umum jika hidup dan matinya media massa akan sangat ditentukan oleh suntikan iklan. Tetapi ada sebuah kenyataan yang kemudian kita saya miris, ketika sebuah media massa kemudian meninggalkan “ideologi” pers–nya yang notabene sebagai informasi, hiburan, pendidikan dan kontrol sosial, lantas meraup halaman koran atau jam tayang media elektronik dipenuh oleh iklan. Ini memang bukan satu dosa bagi sebuah institusi pers untuk menangguk iklan sebesar-besarnya. Tetapi tanpa mempertimbangkan hak pembaca dan pemirsa yang seharusnya lebih banyak mendapat informasi “berita” dari pada sekedar iklan, ini sebaiknya juga menjadi pertimbangan bagi para pengelola media massa. Kenapa ini menjadi penting? Sebab, selain memang ada undang-undang khusus yang mengatur persentase pemasangan iklan sebesar 20 persen pada media massa, tetapi “meng-agungkan” iklan semata tanpa mempertimbangkan tanggungjawab moral-sosial dan hak masyarakat, juga bagian dari pengingkaran “ideologi” pers itu sendiri. Kecuali jika kemudian semua pengelola institusi pers sepakat, mengganti ideologi media massa ini bukan lagi tanggungjawab moral tetapi ideologi-nya menjadi “oplagh atau iklan”.
Di tengah realitas demokrasi seperti sekarang, kapitalisasi media massa menjadi sesuatu yang tidak asig lagi. Dan konsekuensinya, ideologi media massa sudah mengalami pergeseran, dari “ideologi moral” menjadi “ideologi 0oplagh”. Jumlah eksemplar atau “oplagh” dan pendapatan iklan kini sudah menjadi ideologi. Ironisnya, pernah terjadi pada sebuah media massa di Palembang, sebuah berita yang cukup penting, harus tergusur oleh karena halaman kota dipenuhi iklan. Pada kondisi ini, seorang jurnalis sering dihadapkan pada posisi yang sangat dilematis. Di satu sisi, ingin mengedepankan idealisme-nya tetapi di sisi lain ia juga harus hidup dari iklan. Dengan kenyataan seperti inilah, bukan saja jurnalis pemula atau yang senior sering kesulitan menjaga ideologi-nya untuk tetap mengedepankan pesan-pesan moral-nya ketimbang harus menghujani halaman koran atau tayangan siarannya televisi dan radio dengan iklan. Akibat pergeseran ideologi ini, sering mengakibatkan dis-orientasi seorang jurnalis, dari posisinya sebagai “pemburu berita” menjelma menjadi “pemburu iklan”. Jika ini yang sekarang terjadi, berarti berapa juta jurnalis di Indoensia sedang “terjajah” oleh rupiah.
Mencari penghasilan, memang hak asasi bagi setiap jurnalis. Tetapi, terkooptasi oleh pencarian iklan, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai dan moralitas, juga bagian dari proses pembodohan bagi masyarakat, atau juga bagi diri sendiri. Maka menjadi sebuah catatan, jika kemudian dalam Haria Pers Nasional (HPN) 2008, Presiden SBY mencanangkan perlunya sensor bagi setiap berita. Sensor dimasud bukan melalui Menteri Penerangan, melainkan sensor itu dilakukan sendiri oleh media, oleh jurnalis dan redaktur. Pernyataan ini secara langsung atau tidak, sebagai bentuk “keprihatinan” SBY, terhadap sejumlah media massa, yang cenderung mendahulukan oplagh ketimbang moral.

Pegadaian ideologi
Potret buram media dalam era kekinian, ada beberapa sebab yang melatari. Pertama, sebuah institusi media memang dibangun atas dasar “ideologi oplagh”. Sehingga, yang menjadi tujuan adalah bagaimana memperbanyak penjualan dan memburu iklan sebanyak-banyaknya, termasuk liputan sepasang pegantin atau hanya sekedar meng-ekspose khutbah jumat seorang pejabat tinggi di sebuah daerah. Kedua, tidak adanya pencerahan ideologi di kalangan jurnalis. Pencerahan yang saya maksud adalah, proses se-usai rekutment jurnalis, institusi media sangat jarang melakukan pendidikan ideologi bagi para jurnalis yang baru saja diterimanya. Akibatnya, ketika seorang jurnalis turun ke lapangan tidak jarang kemudian terkontaminasi oleh iklim “amplop” yang memang sudah menggurita di setiap pojok instansi pemerintah dan swasta. Ironisnya, hampir semua instansi pemerintah telah mengalokasikan dana untuk “amplop” bagi kalangan jurnalis.
Dengan “keringnya” in-house training ideologi inilah, jurnalis yang secara kebetulan masuk ke sebuah media massa yang dilatari oleh gagalnya test PNS, tentu akan berada pada kegamangan memilih ideologi sebuah media. Belum lagi iklim di lapangan, hampir sudah menjadi siklus (lingkaran syetan) yang sangat berpotensi untuk melakukan pegadaian ideologi. Seorang jurnalis, ada saja yang mengancam membeberkan sebuah “data hitam” kepada seorang kepala instansi tertentu, dengan tujuan untuk mendapatkan ‘upeti’.
Akibat terjadinya dis-orientasi ideologi dalam konteks media massa, nilai-nilai moral kemudian bukan lagi menjadi hal penting, melainkan nilai-nilai nominal rupiah yang kemudian menjadi “ideologi”. Kondisi ini, untuk kemudian banyak dimanfaatkan oleh para pemilik modal untuk “mengupah” dan ‘membeli’ jurnalis yang kemudian membuka media baru dengan kepentingan tertentu. Bila ‘membeli’ jurnalis untuk profesionalitas dalam pengelolaan sebuah media, bukanlah menjadi satu ‘dosa’. Tetapi, memperkerjakan jurnalis dengan membiarkan ‘uli disket’ tenggelam dalam kubangan amplop, ini merupakan tindakan penindasan nyata yang memerlukan perlawanan secara kolektif. Kenapa ini menjadi penting? Sebab, tanpa kejelasan ideologi bagi para jurnalis, maka yang terpikir kemudian bukan bagaimana menjadi jurnalis yang tetap menjaga nilai-nilai dan moralitas, melainkan menceburkan diri “tanpa ideologi” dalam kubangan media massa yang sarat kepentingan, baik yang dilakukan seorang tokoh, atau pemilik modal. Realitas ini sekarang sudah sedemikian kronis, sehingga sebagian masyarakat kita bukan tidak mungkin akan memandang jurnalis hanya sebagai ‘tukang peras’ para pejabat, dari kepala desa sampai tingkat menteri. Sikap ini tidak bisa dipersalahkan. Sebab, sebagian jurnalis kita juga masih menganut ‘aliran media sesat’ ini.
Ada sebuah argumentasi yang kemudian muncul. “Memegang prinsip pada ideologi adalah lapar”. Pola pikir inilah, yang kemudian membenarkan adanya “jual beli” harga diri media massa, sekalipun seorang jurnalis harus menjadi “kacung” dari sebuah kepentingan. Banyak kasus yang mungkin sudah menjadi catatan sejarah media massa. Berapa banyak jurnalis yang kemudian ter-PHK, lantaran menerima uang judi. Atau berapa banyak jurnalis yang kemudian harus “menyembah” kapitalis, dengan tanpa mengindahkan ideologi media massa, yang sudah terpatri di dalam hati nuraninya. Agak sulit memang, menghadapi hunjaman kapitalisme di tengah krisis ideologi. Dan menjadi realitas yang menyedihkan jika kemudian kapitalisme ini lebih menjadi jalur ideologi sebuah institusi media, atau bagi para jurnalisnya sendiri, dari pada harus tetap mengedepankan informasi yang mendidik, menghibur dan mengontrol sebuah kebijakan.
Dengan hunjaman kapitalisme melalui iklan, mungkin secara tidak sadar bahwa media massa juga sedang mengkampayekan “iklan pembodohan”. Memang, tidak semua iklan membodohi tetapi dengan mencerabut ruang keleluasaan informasi yang mendidik dan menggantinya dengan ragam iklan yang belum jelas juntrungannya, juga menjadi berakibat pada bodohnya masyarakat terhadap informasi. Sebab, diakui atau tidak media massa merupakan alat strategis untuk mencerdaskan masyarakat, tetapi seiring dengan itu media massa juga menjadi alat yang strategis pula untuk melakukan pembodohan masyarakat.
Kondisi ini kemudian diperparah dengan masuknya para pemilik modal yang sama sekali tidak mempunyai latarbelakang pers. Ide ini kemudian disambut oleh kalangan eks-jurnalis yang secara kebetulan belum mendapat pekerjaan lain. Gayung pun bersambut. Hasilnya sudah dapat diperkirakan. Bagaimana wajah dan visi sebuah media massa, jika dikelola oleh tim kerja yang memang sebelumnya tidak mempunyai ideologi. Media massa, tak lebih menjadi alat dari kapitalis atau menjadi “kuda” dari kepentingan politik pemilik modal. Dan kini bukan hal yang asing bila seorang penguasa, bisa memiliki media massa untuk kepentingan politiknya. Sebab, dengan kebebasan seperti sekarang, tak ada yang dapat melarang untuk menerbitkan media massa siapapun ia. Kuncinya berani “membeli” jurnalis” dengan tawaran upah yang menggiurkan.
Ketiga, realitas lain yang mengakibatkan pergeseran ideologi ini adalah, munculnya pengelola media massa “penembak” jitu. Ada sebuah media massa di Sumatra Bagian Selatan yang melakukan “penembakan” terhadap sebuah perusahaan tertentu, dengan tujuan agar perusahaan tersebut bersedia memasang iklan. Pada awanya, media ‘penembak jitu’ ini membeberkan kebobrokan perusahaan yang dimaksud, untuk kemudian pengelola media massa melakukan menosiasi untuk melaukan deal. Tujuannya jelas bukan berdasar pada keinginan meluruskan sistem yang ada di perusahaan tersebut, namun sebaliknya, ingin “dirangkul” perusahaan agar media tempat ia bekerja tetap hidup dan menghidupi jurnalisnya. Fantastsi memang. Perusahaan yang diserang, tanggap dan cerdas. Apalagi para petinggi perusahaan sudah melihat orientasi pengelola media. Tanpa ada pemberitaan sebelumnya, tiba-tiba pekan berikutnya, pemberitaan kebobrokan itu lenyap bagai di telan bumi. Dan selanjutnya muncul satu halaman penuh advetorial (khusus iklan) perusahaan tersebut, dengan kalimat yang menyegarkan. Sejak halaman “dibeli” tak ada lagi pemberitaan buruk bagi perusahaan yang sebelumnya “dihabisi” sampai kulit-kulitnya. Maka saat itulah, pengelola media dan jurnalisnya mengatakan, “selamat tinggal idealisme, dan selamat datang kapitalis”.
Dalam kondisi seperti ini, mungkin bukan saja kita, tetapi Tuhan sekalipun akan kesulitan menggelari jurnalis apa yang harus bekerja dibawah kepentingan itu. Mungkin, kita sama-sama harus mencari referensi itu. Kalaupuin tidak ketemu, mungkin, besok pagi, kita semua harus berlari menuju Tuhan, untuk kemudian kembali menanyakan tentang gelar bagi jurnalis seperti ini. Kini dan esok, semua pengelola media massa akan terus dihadapkan dua pilihan itu. Dilematis memang, tetapi setiap jurnalis harus memilih. Hanya hatinuranilah yang kemudian menentukan, akan dengan ideologi apa seorang jurnalis harus tetap menjaga nilai-nilai itu dalam kegiatan jurnalistiknya. Semua, kembali pada kedirian masing-masing jurnalis. (*)

*Imron Supriyadi, adalah Jurnalis dan Pelaku Seni di Palembang
Read More..

Sekilas Sejarah Pers di Palembang


Oleh Taufik Wijaya
TIDAK banyak catatan mengenai sejarah pers di Palembang. Tapi, sangat dipercaya pers di Palembang sudah ada sejak pertengahan abad 19.
Buku Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia (Kompas, 2002), menyebutkan pada masa kolonial Hindia Belanda di Palembang telah terbit surat kabar Nieuws en Advertentie blad voor de Residentie Palembang, Djambie en Banka pada 1893. Surat kabar ini disebutkan terbit dua kali dalam sepekan dan diperuntukan kepentingan perusahaan minyak di Palembang.
Menurut Tribuana Said dalam bukunya Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila (1988, halaman 26) disebutkan pada 1830 adalah seorang pengusaha pribumi pertama di Indonesia yang memiliki mesin cetak. Namanya Kemas Mohammad Asahari. Tapi, berbeda dengan Tirto Hadisoerjo alias Djokomono di Bandung dan Serikat Tapanoeli di Medan, Kemas Mohammad Asahari tidak menerbitkan koran atau surat kabar.

Siapa Kemas Mohammad Asahari? Menurut budayawan dan sejarawan Palembang, Djohan Hanafiah, Kemas Mohammad Asahari seorang konglomerat pada masanya. Dia memiliki banyak rumah dan usaha.
Diperkirakan Djohan, Kemas Mohammad Asahari ini menetap di kampung, yang kini disebut kampung 22 Ilir, di Palembang. “Anak-anaknya banyak sekolah hingga ke Belanda. Salah satunya Ali Asahari yang pernah menjadi dosen saya di Universitas Sriwijaya. Dan keluarganya banyak menetap di Bandung,” kata Djohan.
Tribuana Said yang mengutip dari arsip Perpustakaan Nasional, menyebutkan di Palembang pada 1919 telah terbit surat kabar Teradjoe yang diterbitkan Sarekat Islam Palembang.
Lalu, menurut Basilius, dalam artikelnya Media Cetak Jaman Penjajahan, yang dimuat www.forumbebas.com pada 2 Juni 2008, pada tahun 1920-an, di Palembang telah terbit Obor Rakjat, Tjahaya Palembang, dan Pertja Selatan. Dan, masa kejayaan pers di Palembang berlangsung dari tahun 1926 hingga 1939. Kejayaan tersebut dapat diwakili dari surat kabar Pertja Selatan.
Pada 1 Juli 1926 di bawah bendera N.V. Peroesahaan Boemipoetra Palembang terbitlah surat kabar Pertja Selatan. Pada masthead tercantum KM. Adjir sebagai direktur, dan administrateur (administrasi) Kiagoes Mas’oed. Lalu sebagai redacteur (redaktur) atau penanggung jawab redaksi adalah Raden Mas Ario (R.M.A) Tjondrokoesoemo.
Sejak awal, Pertja Selatan menjadi satu-astunya surat kabar yang beredar di Palembang, yang berani mengkritik pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Wartawan maupun korannya beberapa kali diperingati atau mendapat sanksi oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Bahkan, Tjondrokoesoemo, seorang wartawan yang berani, terpaksa diganti oleh Mas Arga, setelah mendapat tekanan dari pemerintahan colonial tersebut.
Pertja Selatan berakhir setelah Jepang masuk ke Indonesia, khususnya di Palembang. Sebab hampir semua surat kabar yang terbit di masa colonial Hindia Belanda diberangus atau dibubarkan oleh Jepang.
Di masa pendudukan Jepang, di Palembang terbit surat kabar Shimbun Palembang. Surat kabar ini tentu saja dibuat untuk kepentingan para Jepang, sehingga selama proses pembuatan, pencetakan, hingga penyebaran di bawah pengawasan para penguasa Jepang. Nungcik Ar tercatat sebagai pimpinan Shimbun Palembang.
Setelah Indonesia merdeka, Nungcik Ar bersama sejumlah wartawan lainnya yang sebelumnya bekerja di Shimbun Palembang menerbitkan Soematra Baroe pada 5 September 1945, kemudian pada Juni 1946 namanya berganti menjadi Obor Rakjat yang salah seorang pemimpin redaksinya Adnan Kapau (AK) Gani, yang kemudian menjadi tokoh PNI, dan menteri dalam kepemimpinan Soekarno-Hatta di Jakarta (Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila, 1988).
Sama seperti Pertja Selatan, surat kabar Obor Rakjat juga dikenal sebagai media yang melawan atau kritis. Para redakturnya pada masa pendudukan Inggris (NICA) di Palembang, beberapa kali dipanggil dan diperingatkan oleh NICA. Bahkan, pada masa Agresi Meliter Belanda I, tahun 1947, kantor Obor Rakjat ditembaki oleh serdadu Belanda.
Meskipun Obor Rakjat berganti nama menjadi Harian Oemoem, dan terakhir menjadi Soeara Rakjat, mereka tetap mendapat tekanan pihak Belanda maupun kaum sparatis proBelanda. Bahkan seorang wartawan Soeara Rakjat yakni Idrus Nawawi ditahan pihak meliter Belanda.
Pasca Agresi Meliter Belanda II, pers di Palembang, seperti juga kondisi umum pers nasional saat itu, mulai melakukan apiliasi dengan organisasi politik, dan tumbuh sesuai aliran atau ideology masing-masing. Sejak itu pula pers di Palembang mengalami polarisasi. Misalnya koran-koran yang diterbitkan kekuatan Masyumi, PKI, dan PNI.
Beberapa surat kabar yang terbit per 15 Juli 1948 di Palembang, antara lain Soeara Rakjat yang terbit harian, Fikiran Rakjat yang terbir tiga kali dalam sepekan, Kesatoean Indonesia dan Soeasana yang terbit mingguan, serta Obor Rakjat yang terbit berkala.
Di akhir tahun 1950-an, terjadi pembreidelan sejumlah surat kabar di Palembang. Pembridelan ini tentu saja dinilai telah bertentangan dengan kebijakan pemerintahan Soekarno. Pada 12 April 1959, surat kabar Pembangunan Palembang dibriedel, 29 April 1959 Suara Rakyat Sumatra juga dibriedel dan penahanan terhadap wartawannya Idrus Nawawi. Pada 2 Agutus 1959, Obor Rakjat dibridel. Setahun sebelumnya, di Jakarta, surat kabar Indonesia Raja yang dipimpin Mochtar Lubis juga dibriedel, menyusul pula Pedoman dan Abadi.
Menjelang peristiwa 30 September 1965, wartawan yang dikenal antikomunis yakni B. Yass dan Hamdani Said, yang memimpin surat kabar Batang Hari Sembilan, dipecat sebagai anggota PWI pada 13 Mei 1965.
Satu hari setelah peristiwa 30 September 1965, PWI memecat dan membrediel wartawan dan surat kabar yang dinilai terlibat dalam peristiwa 30 September 1965 atau pada masa Orde Lama berada dalam satu kelompok dengan pihak komunis. Surat kabar yang dibridel atau dilarangan terbit itu adalah Fikiran Rakjat dan Trikora dilarang terhitung sejak 1 Oktober 1965. Beberapa hari kemudian, 23 Oktober 1965, 16 wartawan harian Fikiran Rakjat dipecat oleh PWI. Di antaranya, M Uteh Riza Yahya, H.H. Syamsuddin, R. Abubakar H. R, dan Abdullah Hasan.
Setahun kemudian, suhu politik terus meningkat. Beberapa pendukung Soekarno tetap melakukan perlawanan, Termasuk para wartawannya. Djohan Hanafiah, yang tercatat sebagai wartawan surat kabar Panji Revolusi sempat ditahan, lantaran dirinya dan beberapa wartawan dari media yang berapiliasi ke PNI itu dituduh merusak atau merobek surat kabar yang mendukung Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.
Tahun 1970-an, surat kabar yang terkait dengan masa perjuangan dan kemerdekaan Indonesia tampaknya sudah mati. Beberapa surat kabar yang baru muncul, seperti Suara Rakyat Semesta, Sumatera Ekspres, dan Garuda Post.
Digambarkan Soleh Thamrin, pendiri harian Sriwijaya Post atau disingkat namanya menjadi Sripo, campur tangan pemerintah terhadap pers di Indonesia di masa Orde Baru tidaklah berbeda di masa colonial Hindia Belanda, Jepang, maupun Orde Lama. Beberapa pers di nasional merasakan “tangan besi” pemerintahan Soeharto. Misalnya yang dialami harian Indonesia Raja pimpinan Mochtar Lubis yang kembali dibridel pada tahun 1974. Bersama pula dibriedel sejumlah surat kabar seperti Kami, Abadi, The Jakarta Times, dan mingguan Wenang dan Pemuda Indonesia. Pembriedelan ini terkait masalah Malari (Malapetaka Limabelas Januari).
Pascapembriedelan itu, pers di Indonesia, termasuk di Palembang, seakan “mati”. Banyak surat kabar tidak berani mengkritik secara terbuka kepemimpinan Soeharto. Dapat dikatakan kehidupan pers, seperti hanya melayani kemauan dari pemerintah.
Lebih jauhnya, profesionalitas para wartawan menurun. Mereka yang “frustasi” lantaran kebebasannya tersumbat, akhirnya lebih memilih menjadikan profesi wartawan sebagai alat “pemeras” buat para pejabat atau pengusaha yang bermasalah. Para wartawan ini bekerja sama dengan para pemegang kebijakan atau pemegang hukum dalam menjalankan fungsi negatifnya tersebut. “Masyarakat benar-benar tidak mendapatkan informasi yang benar atau meluas. Mereka seakan hanya boleh membaca informasi yang dikeluarkan pemerintah,” kata Soleh.
Kondisi tersebut diperparah, banyaknya surat kabar di Palembang, penerbitannya tidak sehat. Dapat dikatakan penerbitan sangat tergantung dari pemasukan dana iklan yang minim, atau adanya bantuan dari pemerintah.
Tahun 1980-an akhir hingga 1990-an, muncul sejumlah wartawan muda yang bermimpi ingin melahirkan surat kabar yang benar-benar berfungsi sebagai media massa.
Soleh Thamrin sendiri salah satu wartawan muda di Palembang yang memiliki keinginan tersebut. Dia pun memulai tahun 1986 dengan menerbitkan harian Radar Selatan bersama sejumlah wartawan. Harian ini berusia 11 bulan. Harian Radar Selatan terbit bersama Sumatera Ekspres, Garuda Post, dan Suara Rakyat Semesta, yang lebih dulu terbit di Palembang.
Selanjutnya dengan dukungan teman-teman baru yang dinilai lebih idealis, tahun 1987, Soleh Thamrin menerbitkan surat kabar Sriwijaya Post. Tak lama kemudian, surat kabar ini bekerjasama dengan harian Kompas.
Selama kurun waktu 1980-an akhir hingga awal 1990-an, Sriwijaya Post menjadi satu-satunya harian di Palembang yang paling digemari masyarakat Palembang. Sebab selain berpenampilan bagus dengan kualitas cetak terbaik, pemberitaan di Sriwijaya Post juga lebih kritis, khususnya terhadap sejumlah kebijakan yang dijalankan pemerintah.
Memang, kritik-kritik yang disajikan Sriwijaya Post sedikit lebih elegan atau halus. Jurnalisme yang dijalankan seperti jurnalisme sastra, yang mana banyak menggunakan narasi, perumpanan dan gambaran, tanpa menggunakan kalimat-kalimat langsung seperti halnya surat kabar di Palembang yang sebelumnya dikenal keras seperti Pertja Selatan atau Obor Rakjat. Di sisi lain, para pimpinan Sriwijaya Post, juga treys melakukan komunikasi dengan oara pejabat sehingga mereka terhindar dari jeratan pembriedelan.
Sepandai-pandainya belut berkelit, akhirnya terkena juga. Harian Sriwijaya Post digoyang melalui penyusupan ke dalam tubuh perusahaan. Melalui karyawannya isu kritenisasi dan pembagian saham akhirnya membuat harian itu terhenti terbit selama satu tahun lebih. Selanjutnya mereka mencoba bertahan hidup hingga hari ini. Lawannya bukan lagi kekuasaan, tapi kekuatan modal.
Pesaing Sriwijaya Post yakni Sumatera Ekspres yang sebelumnya hidupnya tak menentu, akhirnya mendapatkan nasib baiknya setelah dikelola Harian Media Indonesia, dan kemudian dibeli dan dikelola oleh Jawa Pos.
Setelah Soeharto jatuh, 1998, Sumatera Ekspres dan Jawa Pos banyak melahirkan sejumlah surat kabar baru seperti Palembang Pos, Radar Palembang, Palembang Ekspres, dan Mingguan Monica.
Kejatuhan Soeharto yang disusul bubarnya Departemen Penerangan dan gugurnya SIUPP, memang membuat insan pers di Indonesia seperti mendapatkan durian runtuh. Mereka pun ramai-ramai membuat surat kabar baru. Baik harian, mingguan, tabloid atau majalah.
Di Palembang, juga terjadi booming surat kabar. Sejumlah wartawan yang sudah berpengalaman atau baru, berkolaborasi dengan sejumlah pengusaha kuat atau sedang, membuat sejumlah surat kabar. Surat kabar yang diterbitkan baik berupa harian, mingguan, majalah, tabloid, hingga “tempo terbit, tempo tidak”.
Namun, sejalan dengan persaingan bebas itu, tampaknya yang memiliki modal kuat yang tetap bertahan. Harian yang dikelola Jawa Pos mungkin yang dapat bertahan dengan baik. Sementara harian milik pemodal lemah, seperti yang dibangun wartawan Afdhal Azmi Djambak, sebelumnya bekerja di Sriwijaya Post, yakni Transparan, dapat dikatakan sebagai satu-satunya surat kabar yang lahir setelah Soeharto jatuh yang tetap bertahan.
Kalaupun ada surat kabar baru yang bertahan baik adalah Berita Pagi, sebuah surat kabar yang didirikan oleh Alex Noerdin, kini menjadi gubernur Sumatra Selatan.
Selain persoalan modal, di masa era kebebasan pers ini, ancaman kekerasan terhadap pers datangnya bukan hanya dari pemerintah. Tetapi dari kelompok sipil. Mulai dari preman, sipil bersenjata, organisasi massa, mahasiswa, hingga aktifis LSM.
Sriwijaya Post, Transparan, atau Sumatera Ekspres, pernah merasakan bagaimana kantor mereka diseruduk preman lantaran memberitakan soal perjudian illegal. Sementara di lapangan, juga banyak terjadi aksi kekerasan terhadap wartawan.
Masa reformasi juga melahirkan banyak organisasi wartawan. Bila sebelumnya hanya PWI yang menjadi organisasi wartawan, maka organisasi semacam Aliansi Jurnalis Indepeden (AJI) yang di masa Soeharto disebut sebagai organisasi terlarang mendapatkan pengakuan legalnya. AJI Palembang sendiri berdiri beberapa bulan sebelum Soeharto lengser. Pada saat BJ Habibie menjadi presiden, beberapa organisasi wartawan lainnya lahir, seperti PWI Reformasi, Ikatan Jurnalis Televisi Independen (IJT), dan lainnya.
Di sisi lain, booming surat kabar tersebut menyebabkan profesionalitas wartawannya rendah. Banyak wartawan yang diterjunkan di lapangan, sebelumnya tidak diberikan pelatihan ilmu jurnalistik maupun etika sebagai jurnalis oleh perusahaan tempat wartawan itu bekerja. “Banyak wartawan yang tidak dibekali ilmu jurnalistik dan etika profesi wartawan, sehingga saat di lapangan mereka berperilaku tidak baik, dan tidak mengetahui batasan informasi publik dan privasi sehingga terjadi gesekan antara mereka dengan sumber berita atau masyarakat,” kata Soleh Thamrin.
Memasuki abad millennium ketiga, surat kabar di Palembang bukan hanya menghadapi persaingan modal, ancaman kekerasan, profesionalitas pekerjanya, juga perkembangan teknologi yang menyebabkan persaingan penyediaan informasi kian meningkat.
Keberadaan internet dan televisi, misalnya, menyebabkan surat kabar harus mampu menyajikan berita lebih mendalam dan menarik, sebab media internet atau media online dan televisi telah memberikan penyajian berita secara cepat.
Dari puluhan media massa di Palembang dan sekitarnya, tampaknya hanya Sriwijaya Post dan Sumatera Ekspres yang memanfaatkan secara optimal atau serius. Sriwijaya Post dengan www.sripoku.com dan Sumatera Ekspres dengan situs ww.sumeks.co.id.
Persaingan di dunia internet ini juga tidak gampang. Surat kabar selain mengimbangi media online, juga harus berhadapan dengan weblog atau situs pribadi, serta jejaringan social, yang terkadang memberikan pertukaran informasi antarmasyarakat lebih cepat dari media massa online sekalipun.
Lalu, bagaimana surat kabar di Palembang akan bertahan di masa mendatang? Mungkin terlalu sulit buat menebaknya.
*Taufik Wijaya adalah Kontributor Majalah PANTAU
Read More..

PABLO PICASSO 1881-1973



Pelukis senantiasa bergumul dengan pertanyaan umum apa sebetulnya maksud serta tujuan seni itu. Buat apa sih? Apa tanpa seni orang lantas jadi bangkai? Atau ompong? Tetapi sejak penemuan fotografi, masalahnya jadi lebih jelas dan lebih urgen. Jelasnya, tujuan pelukis bukan sekedar menjiplak pemandangan alam. Sepintar-pintar pelukis seperti apa pun tidak bakalan bisa menandingi potret, baik bagusnya maupun murahnya. Karena itu, lebih dari seabad serentetan percobaan sudah dirintis orang untuk menegaskan fungsi dan daya jangkau sesuatu lukisan. Dalam gerakan ini, orang yang paling berani, paling inovatif, yang melepaskan diri jauh-jauh dari semata-mata seni yang biasa-biasa itu, dan yang dengan sendirinya paling berpengaruh, adalah Pablo Picasso.
Gaya seni Picasso dikagumi karena imaginasinya, vitalitasnya dan kepekaannya terhadap dunia luar. Picasso merupakan tokoh sentral dalam perkembangan "Kubisme," dan dia juga ternama karena kebrilianan otak serta kemampuan tekniknya. Umumnya dia diakui selaku tokoh utama dalam seni modern dan salah seorang yang paling suka kepada hal-hal baru dari semua seniman di sepanjang jaman.
Picasso punya kemampuan sempuma dalam hal lukisan gambar realistis. bila dia merasa perlu seperti itu; tetapi, lebih kerap lagi dia memilih mengacak-acak serta mengubah-ubah wajah sesuatu obyek. Pernah suatu waktu dia berkata. "Bila kumau melukis cangkir, akan kutunjukkan padamu bahwa bentuknya bundar; tetapi itu sesuatu irama umum dan konstruksi lukisan memaksa aku menunjukkan bawa yang namanya bundar itu sebagai suatu yang persegi."
Pablo Ruiz Y Picasso dilahirkan tahun 1881 di kota Malaga, Spanyol. Ayahnya seniman dan guru kesenian. Bakat Pablo muncul dalam usia muda sekali dan dia sudah jadi pelukis jempolan pada umur belasan tahun. Tahun 1904 dia menetap di Paris dan untuk selanjutnya tinggal di Perancis.

Lukisan Picasso "Gadis di Depan Cermin" merevolusionerkan perspektip penanganan seni modern. (Ukuran 64 x 51 1/4) cat minyak; koleksi Museum Seni, New York, hadiah Ny. Simon Guggenheim.
Picasso betul-betul seorang seniman yang teramat produktif. Selama kehidupannya selaku seniman yang luar biasa panjang itu --sekitar masa waktu tiga perempat abad-- dia sudah mencipta lebih dari 20.000 hasil seni yang terpisah-pisah satu sama lain, rata-rata lebih dari 5 karya dalam seminggu yang berlangsung selama 75 tahun! Sebagian terbesar dari waktu itu, karyanya selalu berdiri paling depan dalam hal harga tinggi, karena itu Picasso menjadi orang yang amat kaya raya. Dia meninggal dunia di kota Mougins, Perancis, tahun 1973.
Pokoknya, Picasso tak syak lagi seorang seniman serba bisa yang jarang tolok bandingnya. Kendati sebutan utamanya seorang pelukis, dia juga banyak melakukan karya pahat. Tambahan lagi, dia perancang panggung ballet; dia bergumul dengan seni bikin pot, meninggalkan sejumlah besar karya lithografi, lukisan melalui garis-garis dengan menggunakan pensil atau kapur tulis dari banyak cabang seni lainnya.
Tetapi seperti sementara seniman-seniman, Picasso juga tertarik dengan sungguh-sungguh pada masalah politik. Nyatanya, lukisan masyhurnya "Guernica" (1937), diilhami oleh kejadian-kejadian dalam perang saudara Spanyol. Beberapa hasil karya lainnya pun punya arti penting politis.
Banyak seniman-seniman masyhur ditandai oleh satu macam gaya dasar. Tidaklah demikian Picasso. Dia menampilkan ruang luas dari pelbagai gaya yang mencengangkan. Kritikus-kritikus seni memberi julukan seperti "periode biru," "periode merah muda," "periode neo-klasik" dan sebagainya. Dia merupakan salah satu dari cikal bakal "Kubisme," Dia kadang ikut serta, kadang menentang perkembangan-perkembangan baru dalam dunia lukis-melukis modern. Mungkin tak ada pelukis dalam sejarah yang sanggup melakukan karya dengan kualitas begitu tinggi dengan lewat begitu banyak gaya dan cara.
Tidak semua aliran seni punya pengaruh berjangka panjang. Meskipun Picasso disanjung-sanjung di abad ke-20, layak dipertanyakan apakah di abad-abad depan kelak penyanjungan itu masih bisa terjadi, ataukah pengaruhnya akan segera musnah dalam waktu tak lama lagi. Sudah jelas, tak ada jaminan yang meyakinkan untuk menjawab pertanyaan macam itu. Tetapi, kata sepakat dari para kritikus seni kontemporer mengatakan bahwa pengaruh Picasso akan tetap punya bobot penting di masa-masa mendatang. Walaupun jelas, kita tidak bisa memastikan kelanjutan dari bobot penting Pablo Picasso seperti bisa kita lakukan terhadap seniman-seniman yang sudah teruji oleh sang waktu.
Sumber : http://media.isnet.org/iptek/100/Picasso.jpg
Read More..

Pameran Lukisan “A Journey to Palembang” Diundur



Tavern-Pameran lukisan bertema “ Journey to Palembang” yang sedianya berlangsung pada 14-19 Desember 2009 diundur pelaksanaannya menjadi 19-26 Januari 2010.
Pengunduran ini dilakukan karena beberapa hal, antara lain penjadwalan ulang agenda Wakil Gubernur Sumsel Eddy Yusuf yang akan membuka dan menutup pameran, penjadwalan ulang tempat pameran yakni Hotel The Jayakarta Daira Palembang dan juga kesiapan total seluruh pameran.
“Kami harus menghitung dengan cermat semua hal berkaitan dengan pelaksanaan pameran karena kita ingin semua stake holder dan masyarakat dapat menikmati pameran ini. Karena itu hasil rembukan antara panitia, para perupa dan kurator memutuskan agar pameran kita diundur satu bulan ke depan,” ujar Ketua Panitia Pelaksana Djoesev Soetrisno.
Panitia sendiri sudah melakukan persiapan penuh agar pameran berjalan sempurna, juga meminimalisir hal-hal yang kelak akan menjadi hambatan. Sampai saat ini, panitia sudah melakukan pembingkaian karya, menyiapkan katalog dan undangan serta merancang tata letak (display) termasuk menghubungi para pihak yang akan terlibat dalam pameran.
“Tak ada kendala berarti, hanya kami ingin masyarakat tahu bahwa pameran ini dilaksanakan dengan sangat serius sehingga hal-hal kecil akan kami perhitungkan agar jangan menjadi persoalan pada tahap pra hingga pelaksanaan. Kami tidak ingin mengecewakan masyarakat,” tambah Djoesev. Kurator pameran Nurhayat Arif berpendapat serupa. Sampai saat ini dia masih menyeleksi, menyortir dan mengemas karya-karya tersebut.
“Kami tak ingin kecolongan, karya yang dipamerkan nanti harus yang terbaik,” ujar Arif.
Sementara itu, koordinator hubungan media dan promosi Imron Supriyadi menyatakan permohonan maafnya kepada rekan-rekan media yang telah merespon positif kegiatan ini. Dia mengharap selama satu bulan ke depan, media akan tetap memback up pemberitaan-pemberitaan mengenai pameran ini.
“Kami sedang menyiapkan portal dan blog agar rekan-rekan media lebih mudah mengakses semua hal berkaitan dengan pameran. Semoga langkah yang kami lakukan ini tepat dan dapat memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan senirupa khususnya di Palembang,”ujar Imron.
Seperti diberitakan sebelumnya, pameran senirupa bertajuk “ A Journey to Palembang” akan mengetengahkan sedikitnya 30 karya rupa. Sesuai dengan tema, semua lukisan akan bercerita tentang perjalanan kota Palembang sejak lahir di abad ke 6 hingga saat kini. Rekonstruksi dan pemaknaan ulang sejarah Palembang secara visual ini melibatkan lima perupa; Abdul Aziz, Mardiono, Heru Ardiansyah, Fajar Agustono dan Ramadhan Abdi.
Salah satu lukisan berjudul “Tafakkur” karya Mardiono telah diminati Bupati 4 Lawang Budi Antoni Aldjufri.**
Read More..

30 LUKISAN PALEMBANG AKAN DIPAMERKAN



Tavern--Sekelompok pelukis mencoba meramaikan jagat seni di Sumsel. Salah satunya dengan pameran lukisan seputar Kerajaan Sriwijaya dan keseharian Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II. Rencananya, pameran tersebut dilangsungkan pertengahan Desember mendatang di Hotel Djayakarta Daira.

“Sekitar 30 lukisan besar akan kita pamerkan di sana,” ungkap Djoesev Soetrisno, ketua panitia, usai bertemu Wagub H Eddy Yusuf SH MM, kemarin. Dikatakan lukisan besar karena memang ukurannya besar. Yang paling kecil berukuran 1 x 1 meter, sedang terbesar berukuran 2 x 4 meter.
Pameran lukisan bersama dari lima pelukis ini mencoba mengangkat tema
“A Journey to Palembang.”Di antara lukisan yang akan dipamerkan nantinya, lukisan SMB II sedang shalat, SMB II sedang mengatur strategi perang, sisi lain penangkapan SMB II, rakit api yang menggambarkan suasana perang Palembang. Bersamaan dengan itu, PHRI Sumsel akan me-launching tabloid View PHRI Sumsel yang berisi tentang budaya dan pariwisata Sumsel.
“Mudah-mudahan ini bisa memberikan kontribusi lebih bagi Sumsel ke depan,” ujar Ketua PHRI Sumsel, Iwan Setiawan.Di bulan April, akan ada Sumsel Moy. Saat itulah, seluruh insan seni akan bangkit. Sebelum menyambut itu, para pelukis akan turun ke daerah. Mengabadikan beragam demografi alam Sumsel yang indah di atas kanvas. “Hasilnya akan kita pamerkan secara besar-besaran,” jelas Arif.Wagub Sumsel, Eddy Yusuf menyambut baik rencana pameran lukisan bersama ini. Termasuk planning launching tabloid View PHRI Sumsel dan Sumsel Moy April mendatang. Dikatakannya, salah satu upaya yang bisa dilakukan pemerintah untuk membantu para seniman lukis ini eksis adalah dengan mendirikan pasar seni.
“Mungkin cocok di kawasan BKB, tapi harus relokasi dulu. Nah, ini yang akan sulit,” cetusnya. Kenapa BKB cocok? Karena, performance tempo doeloe, biasanya di kawasan keraton ada alun-alun dan masjid. “Nah, BKB dekat dengan Masjid Agung Palembang. Feeling saya cocok jadi kawasan pasar seni,” ungkap Eddy.Terkait pemikiran merelokasi kawasan BKB, dinilainya bisa dilakukan walaupun sulit. Tinggal lagi perlunya koordinasi yang baik antara Pemkot Palembang, Pemprov Sumsel dan jajaran Kodam II/Swj yang menguasai aset tersebut. Jika BKB direlokasi, harus dipikirkan ke mana warga di sana akan dipindahkan. “Untuk biaya belum tahu, belum ada inventarisasi. Bahkan, belum ada pembicaraan lagi dengan Kodam,” tukasnya.**
Read More..